Judul di atas pasti terasa terlampau panjang. Membahas maksud judul itu rasanya akan pasti butuh tulisan panjang. Bagaimana dapat dielakkan? Kebutuhan hidup (butuhe urip) memanglah daftar nan sangat panjang. Masih ditambah juga hal kebermanfaatan hidup (gunane urip). Akan pasti sangat sangat panjang bila agama yang jadi sudut pandangnya. Jika judul di atas dimaksudkan sebagai nasihat, duh, alangkah naifnya si pemberi nasihat ini. Bayangkan saja, siapa orang di muka bumi ini yang hidupnya tak disibukkan oleh kerja pemenuhan kebutuhan? Tapi alangkah mulianya pembaca nasihat ini jika hatinya berkenan memaklumi. Kenapa? Tentu karena sikap mau memikirkan kebermanfaatan diri dalam kehidupan ini kiranya patut dipuji sebagai tanda kewarasan hati. Benarkah kebanyakan dari kita adalah manusia-manusia super sibuk yang lupa berusaha untuk berguna? Tampaknya iya. Golongan yang manakah itu? Apakah hanya masyarakat kota saja? Atau orang desa juga? Atau sebaliknya? Hei. Kebutuhan itu tak terbatas ruang. Tentu di kota banyak orang tak nyenyak tidurnya oleh tuntunan kebutuhan yang tak mengenal jeda. Di desa mungkin malah lebih banyak yang begitu. Jangan selalu desa yang identik sejuk udaranya itu dipastikan sejuk juga suasana batin manusianya. Lantas apa tanda yang kentara dari kita sehingga pantas disebut insan yang sering lupa berusaha untuk menjadi manusia berguna? Rasakan sendiri saja. Jika kamu tidak mampu berbagi kegembiraan bersama liyan, kamu termasuk golongan yang lali gunane urip. Jika kamu hanya ingat kawan di saat kamu membutuhkan bantuannya, kamu jelas termasuk golongan yang hanya eling butuhe urip. Tapi tunggu dulu, penjelasan ini bukan untuk menghakimi pilihan sikapmu. Tak ada yang berhak melarang orang sibuk dengan pribadinya. Tak ada juga yang berhak memaksa orang untuk harus berbuat sesuatu yang dapat menggembirakan liyan. Kamu boleh bersikap semaumu. Tapi kebebasan ini tak berlaku bagi kamu yang telanjur mau menjadi bagian dari kehidupan sosial. Tak berlaku juga bagi kamu yang sudah telanjur bangga disebut insan berbudaya. Tak berlaku juga bagi kamu yang telanjur mengakui dirimu beragama. Jadi, nasihat sesuai judul tulisan ini sesungguhnya tidak boleh dibaca oleh kamu yang tak bermasyarakat, tak berbudaya dan tak beragama. Namun bila telanjur membaca, semoga saja kamu tak punya waktu untuk menantang debat hal hakikat hidup. Semoga kamu tetap sibuk memenuhi kebutuhan pribadimu yang terus bertambah itu. Tapi semoga sesekali kamu bisa mendapatkan pengalaman langka menjadi pribadi yang hadir seutuhnya bagi liyan. Misalnya sederhana saja, kamu berkesempatan menemani ibumu sarapan soto di warung langganannya, lalu berkesempatan merekam senyum leganya di benakmu yang sebenarnya sudah dipenuhi daftar kebutuhan hidup itu. Meskipun kamu seorang ateis, apakah melihat ibumu lega gembira sesekali itu tidak ada di daftar kebutuhanmu?